Berita

Breaking News

Menjaga Marwah Profesi Kedokteran: Respons terhadap Kasus Tindak Pidana oleh Residen Pendidikan Dokter Spesialis dan Analisis Komprehensif serta bagaimana IDI dan BHP2A Bersikaf


BANJARMASIN, kalseltoday.com - Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang residen peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) terhadap anak pasien di salah satu rumah sakit pendidikan di Bandung adalah tragedi kemanusiaan yang sekaligus mengguncang integritas profesi kedokteran. Terlebih lagi, tindakan tersebut diduga dilakukan dengan penyalahgunaan obat bius yang seharusnya digunakan secara bertanggung jawab dalam pelayanan medis.

Etika dan Moralitas Profesi: Pilar yang Dikhianati

Profesi kedokteran didasarkan atas prinsip luhur primum non nocere (pertama-tama, jangan membahayakan). Tindakan kekerasan seksual dalam lingkungan rumah sakit bukan hanya melanggar hukum, tetapi merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan pasien, keluarga, dan masyarakat kepada profesi dokter.

Etika profesi mengharuskan setiap dokter—termasuk residen—untuk menjunjung tinggi martabat pasien, menjaga kerahasiaan, dan melindungi hak-hak individu. Tindakan pelaku jelas merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap seluruh prinsip etika tersebut.

Pendidikan Kedokteran dan Kelemahan Sistemik

Kasus ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kedokteran, khususnya pada tahap klinis dan spesialis, membutuhkan reformasi serius dalam aspek pembinaan karakter, supervisi, dan sistem pelaporan pelanggaran. Pendidikan etik yang hanya bersifat kognitif tanpa pembentukan nilai dan integritas pribadi terbukti tidak cukup untuk membentengi residen dari penyimpangan moral.

Sikap terhadap Penegakan Hukum dan Profesi

Tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana berat yang harus diproses secara terbuka oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini, PB IDI melalui Biro Hukum, Pembinaan, dan Pembelaan Anggota (BHP2A) wajib menjalankan fungsi asesmen etik dan hukum secara objektif, serta:
Tidak memberikan pembelaan hukum aktif terhadap pelaku, karena tindakannya dilakukan di luar koridor praktik kedokteran profesional, bahkan mencemari martabat profesi.
Mendorong proses etik dan disiplin melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Disiplin Profesi (MDP) agar pelaku dicabut hak praktiknya dan dikeluarkan dari keanggotaan IDI dan Adanya Pelanggaran Disiplin Profesi 
Menyampaikan pernyataan resmi organisasi profesi yang berpihak pada korban dan penegakan keadilan, sekaligus menjaga marwah profesi secara institusional.

Rekomendasi Reformasi dan Penguatan Sistem
1. Audit menyeluruh terhadap sistem seleksi dan pembinaan peserta PPDS, termasuk aspek psikososial dan moralitas dan Perilaku Aneh dan gangguan Kepribadian yang terselubung
2. Penguatan kurikulum etika klinis dan profesionalisme secara menyeluruh dan sistematis.
3. Pembentukan sistem pelaporan kekerasan seksual dalam lingkungan rumah sakit dan pendidikan kedokteran, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan pelapor.
4. Pengawasan ketat terhadap penggunaan obat bius dan akses alat medis oleh tenaga medis pelatihan.


Peranan BHP2A PB IDI dalam Kasus Pidana oleh Anggota/Residen

1. Fungsi Utama BHP2A PB IDI

BHP2A memiliki mandat utama:
Membina pemahaman hukum dan etik di kalangan dokter.
Membela anggota IDI yang menghadapi masalah hukum dalam konteks menjalankan profesinya secara sah dan profesional.
Melakukan asesmen obyektif terhadap kasus hukum yang melibatkan dokter: apakah ada ruang pembelaan atau justru perlu sanksi etik.

Namun, fungsi pembelaan ini tidak bersifat otomatis. Ada prinsip penting yang menjadi batas:

BHP2A hanya melakukan pembelaan hukum terhadap anggota yang menjalankan profesinya secara benar dan berada dalam jalur etik kedokteran.

2. Sikap Ideal BHP2A terhadap Kasus Pidana Berat Seperti Perkosaan

Dalam kasus residen melakukan pemerkosaan terhadap anak pasien dengan penyalahgunaan obat bius—maka peran BHP2A bukanlah membela, melainkan:
Menonaktifkan sementara keanggotaan jika pelaku adalah anggota IDI.
Melakukan asesmen etik dan hukum terhadap tindakan tersebut.
Berkoordinasi dengan MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MDP (Majelis Disiplin Profesi ) untuk proses etik dan disiplin.
Menolak pembelaan hukum aktif jika terbukti sebagai kejahatan murni yang melanggar hukum pidana umum dan etik profesi.
Menyatakan pelepasan tanggung jawab organisasi terhadap tindakan kriminal yang dilakukan di luar kerangka etik profesi.

3. Tanggung Jawab PB IDI Secara Organisasi
Melindungi martabat dan kepercayaan terhadap profesi kedokteran.
Bersikap terbuka terhadap proses hukum dan mendukung penegakan keadilan bagi korban.
Tidak melakukan intervensi pembelaan hukum terhadap anggota yang nyata-nyata melanggar hukum berat dan merusak profesi.
Menggunakan momentum ini untuk memperkuat pengawasan, pendidikan etik, dan sistem pelaporan kekerasan dalam sistem pendidikan kedokteran dan RS pendidikan.

Jadi, BHP2A memiliki tanggung jawab ganda: melindungi dokter yang patuh hukum dan etik, namun juga bersikap tegas dan objektif terhadap anggota yang menodai profesi.

Dalam kasus pemerkosaan dan penyalahgunaan profesi seperti ini, sikap BHP2A harus tegas: tidak membela, tetapi mendukung penegakan hukum, sanksi etik, dan pemulihan hak korban.

Profesi kedokteran adalah profesi kepercayaan. Setiap tindakan amoral dan kriminal oleh oknum di dalamnya, terlebih dalam lingkungan pelayanan publik dan pendidikan, tidak boleh ditoleransi. Keberanian institusi profesi untuk bersikap tegas dalam kasus seperti ini bukan hanya melindungi masyarakat, tetapi juga memulihkan martabat profesi dokter Indonesia di mata publik.

Berikut Analisis komprehensif dari perspektif etika, pendidikan kedokteran, hukum, dan sistem pengawasan institusional:

1. Aspek Etika Profesi Kedokteran
Pelanggaran Berat Etika Profesi: Tindakan memperkosa pasien atau keluarga pasien—terlebih lagi dengan menggunakan alat atau obat yang berkaitan dengan praktik medis—merupakan pelanggaran paling berat terhadap kode etik kedokteran. Seorang dokter (atau residen) harus menjunjung tinggi prinsip non-maleficence (tidak menyakiti) dan autonomy (menghormati martabat dan hak pasien).
Penyalahgunaan Kepercayaan: Residen memiliki posisi istimewa karena dipercaya untuk merawat pasien. Menyalahgunakan posisi itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat dan profesi.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Tindakan tersebut juga merupakan pelanggaran hak paling mendasar dari korban, terutama karena dilakukan dalam konteks sistem pelayanan kesehatan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan.

2. Aspek Pendidikan Kedokteran & Sistem Seleksi PPDS
Kegagalan Sistem Seleksi dan Pembinaan Moral: Kasus ini dapat menjadi indikator bahwa proses seleksi masuk program PPDS mungkin belum cukup mempertimbangkan aspek kepribadian, integritas, dan moral calon peserta. Pendidikan kedokteran tidak cukup hanya dengan kecerdasan akademik, tetapi harus disertai pembinaan karakter.
Ketiadaan Pengawasan atau Kelemahan Sistem Supervisi: Residen berada dalam posisi antara “dokter” dan “mahasiswa.” Pengawasan dari pembimbing atau supervisor (staf pengajar) sangat penting, terutama saat bekerja di lingkungan yang memungkinkan interaksi intens dengan pasien dan keluarga pasien.
Perlu Integrasi Pendidikan Etika Klinis: Kasus ini menyoroti lemahnya internalisasi nilai-nilai etika dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Pendidikan etika harus lebih konkret, aplikatif, dan terintegrasi dalam semua tahap pendidikan klinis.

3. Aspek Hukum Pidana dan Sanksi Profesi
Tindak Pidana Berat: Perkosaan, apalagi menggunakan obat bius, masuk kategori pemerkosaan dengan pemberatan, yang diatur dalam KUHP Pasal 285 dan Pasal 286. Jika terbukti, pelaku bisa dijatuhi pidana penjara yang sangat berat.
Pelanggaran terhadap UU Kesehatan: Selain pidana umum, pelaku j
UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terutama  pasal kewajiban Tenaga Medis dan dalam hal penyalahgunaan wewenang profesi.
Sanksi Profesi & Akademik: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan institusi pendidikan harus segera mengambil tindakan etik: merekomendasikan pencabutan izin praktik SIP yang dikeluarkan Dinas Perizinan , pemberhentian dari program pendidikan, dan pelaporan resmi ke pihak berwajib. Ini untuk menjaga integritas profesi secara keseluruhan.

4. Aspek Kepercayaan Publik & Tata Kelola Rumah Sakit
Krisis Kepercayaan Masyarakat: Kasus ini dapat merusak citra rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran. Kepercayaan masyarakat bisa menurun tajam bila tidak ada tindakan cepat dan transparan.
Kebutuhan SOP Perlindungan Pasien: RS harus mengevaluasi kembali sistem keamanan, akses residen terhadap pasien, serta SOP penggunaan alat dan obat anestesi. Perlu audit terhadap pengawasan penggunaan fasilitas medis oleh tenaga pelatihan.
Pentingnya Sistem Whistleblowing: RS dan institusi pendidikan harus menyediakan saluran pengaduan yang aman bagi pasien, keluarga pasien, dan tenaga kesehatan untuk melaporkan pelanggaran etik maupun kekerasan seksual.

5. Perspektif Sosiologis dan Psikologis
Stres Pendidikan yang Tidak Ditangani: Program PPDS dikenal sangat menekan fisik dan mental. Jika tidak diimbangi dengan sistem pendampingan psikososial, bisa melahirkan individu dengan gangguan empati atau pelarian ke perilaku menyimpang.
Budaya Hierarkis dan “Power Abuse”: Budaya di rumah sakit yang cenderung hierarkis dan tertutup bisa menjadi tempat subur penyimpangan kekuasaan oleh individu yang merasa tak tersentuh oleh sistem.

Kesimpulan dan Rekomendasi:

Kasus ini adalah kejahatan berat yang merusak nilai-nilai profesi, hukum, dan kemanusiaan. Tindakan harus cepat, tegas, dan menyeluruh:
1. Proses hukum pidana harus berjalan terbuka dan transparan.
2. Residen harus dikeluarkan dari program dan dilaporkan ke IDI.
3. Audit etik dan tata kelola pendidikan dan RS harus dilakukan.
4. Kurikulum etika dan pendidikan karakter harus diperkuat.
5. Perlindungan korban dan edukasi masyarakat harus segera digerakkan.

Opini ini di tulis :
Saat Transit tour the Java di Jogjakarta
13 April 2025
Oleh:
Prof. Dr. dr. ABD HALIM, SpPD, SH, MH, MM, MMRS, PhD
Guru Besar Ilmu Hukum & Konsultan Manajemen Rumah Sakit  ( Founder dan Ketum PKMRSI)
Anggota BHP2A PB IDI 2025-2028
© Copyright 2022 - Kalsel Today