BANJARBARU, kalseltoday.com - Selamat pagi, siang, sore, dan malam bagi seluruh warga Banjarmasin yang peduli terhadap kotanya. Seperti riak sungai yang tak henti mengalir, begitulah masalah sampah di kota ini—datang bergulung, tak pernah surut, dan kian menumpuk. Di tengah hiruk-pikuk kota yang sibuk, di antara deru kendaraan dan pasar yang ramai, tersembunyi persoalan yang mengendap di sudut jalan dan gang-gang sempit: sampah yang tak terkelola dengan baik.
Artikel ini merupakan hasil dari diskusi panjang antara Redaksi PrismaPost dan seorang sahabat yang peduli terhadap lingkungan, Bapak Rudy Salam, SSi, Apt. Dalam pemikirannya yang tajam dan penuh refleksi, beliau mengupas bagaimana pengelolaan sampah di Banjarmasin masih jauh dari kata ideal. Dengan keprihatinan mendalam, beliau menguraikan masalah-masalah utama serta gagasan-gagasan solutif yang dapat diterapkan demi menyelamatkan kota ini dari krisis lingkungan yang terus membayang.
Antisipasi yang Terlambat: Mengapa Harus Menunggu Krisis?
Jika menoleh ke belakang, sejak awal sebenarnya Pemerintah Kota Banjarmasin, terutama Dinas Lingkungan Hidup (DLH), sudah memiliki cukup waktu untuk menyiapkan solusi sebelum krisis ini meledak. TPA Basirih, yang selama ini menjadi tempat pembuangan utama, telah lama tidak memenuhi standar pengelolaan sampah sesuai regulasi Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, peringatan ini seolah berlalu begitu saja tanpa langkah progresif. Akibatnya, ketika penutupan TPA akhirnya dilakukan, kota ini berada dalam situasi darurat yang seharusnya dapat dihindari jika ada perencanaan yang lebih matang.
Pemilahan Sampah: Kunci Mengurangi Beban TPA
Salah satu aspek fundamental dalam pengelolaan sampah yang sering diabaikan adalah pemilahan dari sumbernya. Sampah yang berasal dari rumah tangga, warung makan, restoran, dan industri kecil seharusnya sudah dipisahkan antara yang dapat didaur ulang dan yang mudah membusuk sebelum mencapai TPS atau TPA. Dengan pemilahan yang efektif, jumlah sampah yang masuk ke TPA dapat berkurang secara signifikan. Namun, di Banjarmasin, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah masih sangat rendah, dan minimnya fasilitas pendukung seperti Bank Sampah memperparah kondisi ini.
Saat ini, Bank Sampah yang beroperasi masih sangat terbatas jumlahnya. Selain itu, sistem harga yang diterapkan sering kali tidak kompetitif, menyebabkan masyarakat lebih memilih membuang sampah mereka ketimbang menyetorkannya ke Bank Sampah. Padahal, jika insentif yang diberikan lebih menarik, sistem ini bisa menjadi solusi jangka panjang yang efektif dalam mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPS dan TPA.
Pemulung: Pahlawan Tanpa Pengakuan?
Fenomena pemulung yang mengais sampah di TPS menjadi bukti lain dari ketidakseimbangan dalam sistem pengelolaan sampah di kota ini. Di satu sisi, mereka membantu memilah sampah yang bernilai ekonomi dan mengurangi volume sampah yang harus dikelola oleh pemerintah. Namun di sisi lain, tanpa adanya sistem yang terstruktur, aktivitas mereka justru membuat sampah tercecer dan menciptakan lingkungan yang kumuh.
Sebuah solusi yang dapat diterapkan adalah mengintegrasikan pemulung ke dalam sistem pengelolaan sampah formal. Dengan memberikan mereka akses ke pusat daur ulang dan meningkatkan kapasitas mereka melalui pelatihan, mereka dapat menjadi bagian dari rantai ekonomi sirkular yang lebih profesional. Hal ini telah berhasil diterapkan di beberapa kota lain di dunia, di mana pemulung tidak hanya bekerja secara mandiri, tetapi menjadi bagian dari sistem pengelolaan limbah yang lebih sistematis.
Adiwiyata: Program yang Belum Maksimal
Program Adiwiyata yang dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejatinya memiliki potensi besar dalam membangun budaya memilah sampah sejak dini. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak sekolah yang menjalankan program ini hanya sebatas formalitas tanpa ada perubahan nyata dalam pola pikir dan kebiasaan siswa.
Sebagai pembanding, di Jepang, program serupa diterapkan secara konsisten selama lebih dari satu dekade. Hasilnya, kini hampir seluruh rumah tangga di kota-kota besar di Jepang sudah memiliki kebiasaan memilah sampah dengan disiplin. Jika Banjarmasin ingin mencapai hasil yang sama, maka program pendidikan lingkungan harus diperkuat dan diterapkan secara lebih sistematis, tidak hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan keluarga dan komunitas.
Menutup TPA Bukan Solusi, Reformasi Sistem adalah Jawaban
Membuka TPA baru bukanlah solusi jika sistem pengelolaan sampah masih menggunakan pola lama. Tanpa perubahan dalam cara pengolahan dan pengurangan sampah sejak dari sumbernya, dalam satu dekade ke depan Banjarmasin akan kembali mengalami krisis yang sama.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas Bank Sampah, membangun sistem insentif yang lebih menarik, serta mengembangkan teknologi pengolahan sampah yang lebih efisien. Selain itu, pengangkutan sampah juga harus dioptimalkan menggunakan sistem berbasis data, sehingga armada pengangkutan dapat dikerahkan dengan lebih efisien dan tepat sasaran.
Extended Producer Responsibility (EPR): Melibatkan Dunia Usaha dalam Solusi
Konsep Extended Producer Responsibility (EPR) harus mulai diterapkan di Banjarmasin. Artinya, produsen harus bertanggung jawab atas limbah produk mereka, termasuk dalam mendaur ulang atau mengolah kembali kemasan dan bahan yang mereka gunakan. Dengan skema ini, beban pengelolaan sampah tidak hanya tertumpu pada pemerintah dan masyarakat, tetapi juga melibatkan sektor industri dalam menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan.
Harapan untuk Masa Depan
Melihat kondisi saat ini, jelas bahwa jika tidak ada perubahan yang signifikan, masalah sampah di Banjarmasin hanya akan semakin parah. Namun, jika ada keseriusan dari semua pihak—pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media—maka transformasi menuju sistem pengelolaan sampah yang lebih baik bukanlah hal yang mustahil.
Sebagai penutup, mari kita ambil pelajaran dari kota-kota lain yang telah berhasil mengatasi permasalahan sampah mereka. Dengan kebijakan yang tepat, inovasi yang progresif, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, Banjarmasin bisa menjadi kota yang lebih bersih, sehat, dan nyaman untuk ditinggali. Karena jika tidak ada perubahan yang nyata, maka kita hanya akan kembali ke titik awal, menghadapi masalah yang sama berulang kali.
Semoga pemikiran dan gagasan ini dapat menjadi titik awal bagi Banjarmasin untuk bangkit dan mengambil langkah nyata dalam mengatasi persoalan sampah yang telah lama menghantui kota ini. (*)
Oleh. Rudy Salam, SSi, Apt.
Berita