H. Ahyar Wahyudi |
BANJARMASIN, kalseltoday.com - Kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia adalah cerminan kelam perjalanan demokrasi dan kebebasan pers di negeri ini. Selama lebih dari tiga dekade, para jurnalis telah menghadapi ancaman fisik, intimidasi hukum, hingga kematian yang tragis. Kasus-kasus seperti pembunuhan Udin pada 1996 dan kematian Naimullah pada 1997 menjadi bukti nyata betapa rentannya profesi ini. Sayangnya, lemahnya penegakan hukum dan kolaborasi antara penguasa dengan aktor ekonomi ilegal kerap mengaburkan keadilan.
Jurnalis seperti Udin yang mengungkap kasus korupsi sering kali menjadi sasaran kekerasan. Ironisnya, investigasi kasus tersebut tidak pernah menyentuh aktor-aktor utama, melainkan berakhir dengan pengorbanan kambing hitam. Hal serupa terjadi pada Naimullah, yang meliput praktik pembalakan liar di Kalimantan Barat. Keberanian untuk mengungkap kebenaran berujung pada pembungkaman paksa, sementara pelaku sebenarnya tetap bebas.
Fenomena ini mengakar pada sistem hukum yang korup dan lemahnya penghormatan terhadap kebebasan pers. Pemerintah dan masyarakat sering kali gagal memahami pentingnya media yang independen. Jurnalis dianggap sebagai ancaman daripada penjaga demokrasi. Kolaborasi antara institusi hukum dengan ekonomi ilegal semakin memperkeruh situasi, menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan.
Dampak dari kekerasan ini sangat signifikan. Ketakutan yang diciptakan menyebabkan jurnalis enggan meliput isu-isu sensitif, melemahkan kebebasan pers, dan memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Ketika media tidak mampu menyampaikan informasi secara independen, masyarakat kehilangan akses terhadap fakta yang penting untuk pengambilan keputusan yang demokratis.
Namun, di tengah kegelapan ini, harapan tetap ada. Inisiatif seperti program "Safe Journalism" oleh Yayasan TIFA, SAFENET, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi langkah penting dalam menciptakan ekosistem yang aman bagi jurnalis. Dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda, program ini menghadirkan pelatihan keselamatan digital, pembentukan helpdesk online, dan advokasi lintas sektor. Diskusi yang melibatkan pakar hukum, jurnalis perempuan, dan aktivis HAM menunjukkan pentingnya pendekatan holistik, termasuk memperhatikan aspek gender yang sering kali diabaikan.
Langkah ke depan membutuhkan reformasi hukum yang komprehensif, pendidikan publik tentang kebebasan pers, dan solidaritas yang kuat di antara media. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata dengan memastikan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis dihukum sesuai hukum yang berlaku. Di sisi lain, masyarakat perlu diberdayakan untuk mendukung kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.
Masa depan kebebasan pers di Indonesia terletak pada kemauan kolektif untuk melawan kekerasan dan ketidakadilan. Dengan memperkuat kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media, kita dapat menciptakan lingkungan di mana jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut. Hanya dengan demikian, demokrasi sejati dapat terwujud.(*)
Berita