DR. H. Ahyar Wahyudi |
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, sebuah jerit sunyi melintasi kesibukan manusia yang terbuai oleh ambisi dan rutinitas. Jerit itu berasal dari seorang balita tak berdosa, RMR, yang tubuh mungilnya kini telah menjadi saksi bisu kekejaman yang melampaui batas nurani manusia. Di sebuah ruko kosong di Bekasi, ia ditemukan tak bernyawa, terbungkus kain sarung hitam, seolah dunia ingin menyembunyikan luka-lukanya yang tak termaafkan.
RMR adalah korban dari dua orang yang seharusnya menjadi pelindungnya: kedua orang tuanya sendiri, Aidil Zacky Rahman dan Sinta Dewi. Namun, kemiskinan telah mengubah kasih menjadi kekerasan, dan keputusasaan telah menukar cinta dengan tamparan. Luka bakar, lebam, dan memar di tubuh kecilnya adalah bukti nyata dari penderitaan panjang yang harus ia tanggung di usianya yang baru tiga tahun. Dalam setiap sundutan rokok yang meninggalkan bekas di kulitnya, terkandung amarah dunia yang seolah tak lagi peduli pada nilai kemanusiaan.
Mengapa ini terjadi? Mengapa seorang anak kecil harus menanggung beban berat yang bahkan orang dewasa pun tak sanggup memikulnya? Kemiskinan, sekali lagi, menjadi pangkal tragedi. Sebagai pengemis jalanan, Aidil dan Sinta hidup dalam bayang-bayang keterbatasan. Mereka terjebak dalam siklus eksploitasi dan kekerasan, menggunakan anak mereka sebagai alat untuk menarik simpati. Sebuah tindakan yang bukan hanya melukai jiwa, tetapi juga menghancurkan masa depan yang seharusnya penuh harapan.
RMR adalah satu dari ribuan anak yang setiap harinya menjadi korban eksploitasi ekonomi. Dalam setiap langkah kecilnya, ia membawa beban dosa yang bukan miliknya. Pasal 76I Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 jelas melarang segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Namun, hukum sering kali hanya menjadi tulisan di atas kertas, tak mampu menjangkau mereka yang berada di sudut-sudut gelap kehidupan.
Ketimpangan sosial di negeri ini terus memupuk tragedi seperti ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (2024), tingkat kemiskinan di perkotaan mencapai angka 11,3%. Angka itu bukan sekadar statistik; itu adalah cerita tentang ibu-ibu yang harus mengemis di bawah terik matahari, ayah-ayah yang menyerah pada alkohol dan lem aibon, dan anak-anak yang kehilangan hak untuk bermimpi. Ketika sistem perlindungan sosial gagal menjangkau mereka yang paling membutuhkan, kekerasan dan eksploitasi menjadi pemandangan yang biasa.
Aidil dan Sinta hanyalah produk dari lingkungan yang telah lama kehilangan rasa keadilannya. Teori stress-induced aggression (Berkowitz, 1993) menjelaskan bahwa kemiskinan kronis menciptakan tekanan yang tak tertahankan, memicu perilaku destruktif. Namun, pemahaman ini tidak boleh menjadi pembenaran. Kita semua bertanggung jawab. Dalam diam kita, dalam pengabaian kita, kita turut andil dalam menanamkan benih-benih keputusasaan itu.
Tragedi ini bukan sekadar cerita tentang sebuah keluarga. Ini adalah cermin bagi kita semua. Ketika kita melewati pengemis di jalan tanpa memberikan perhatian, ketika kita membiarkan ketimpangan sosial terus berkembang, kita sedang membuka jalan bagi tragedi berikutnya. RMR hanyalah satu nama, tetapi di baliknya ada ribuan nama lain yang menanti keadilan.
Dari peristiwa ini, kita harus memetik pelajaran yang pahit. Reformasi perlindungan sosial bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Pemerintah, masyarakat, dan individu harus bersatu untuk memastikan tidak ada lagi anak yang menjadi korban kemiskinan dan eksploitasi. Kita harus menanamkan keadilan di setiap jengkal tanah negeri ini.
Seperti bunga yang layu di tengah gurun, RMR adalah pengingat bahwa cinta dan empati adalah air yang kita perlukan untuk menyuburkan kehidupan. "Anak-anak adalah titipan surga," kata seorang pujangga. "Namun, mereka hanya bisa terbang jika kita memberikan sayap yang terbuat dari keadilan dan kasih." Mari, jangan lagi kita biarkan jerit sunyi mereka tenggelam di tengah kebisingan dunia.(Ref. prismapost).
Penulis: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik) (*)
Berita