BANJARMASIN, kalseltoday.com - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengakui BPJS Kesehatan tidak dapat menanggung atau meng-cover seratus persen atau seluruh pembiayaan untuk semua jenis penyakit, khususnya penyakit yang membutuhkan biaya besar. Oleh karena itu, dia menyarankan masyarakat untuk memanfaatkan asuransi swasta guna menutupi selisih biaya pengobatan yang tak dapat dijangkau oleh BPJS Kesehatan. Hal ini diungkapkan oleh Menkes pada Kamis, 20 Januari 2025, dalam wawancara dengan media, di mana ia juga menekankan bahwa pemerintah sedang memperbaiki mekanisme agar masyarakat memiliki perlindungan tambahan BPJS Kesehatan melalui asuransi swasta (CNBC Indonesia, 2025).
Kritik Terhadap Kebijakan dan Probabilitas Kecurangan
Dari perspektif ilmu administrasi, kebijakan BPJS Kesehatan yang diwajibkan bagi seluruh masyarakat Indonesia menghadirkan ruang diskusi kritis terkait potensi penyalahgunaan, ketidaktransparanan, dan celah kebijakan yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Dalam pengelolaan publik, salah satu prinsip utama adalah transparansi dan akuntabilitas, yang tampaknya belum sepenuhnya tercermin dalam tata kelola BPJS. Imbauan untuk menggunakan asuransi swasta sebagai pelengkap, meskipun bertujuan untuk meringankan beban BPJS, menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan adanya konflik kepentingan atau kolusi antara pengambil kebijakan dan pelaku industri asuransi.
Salah satu kritik utama adalah kurangnya keterbukaan dalam pengelolaan dana iuran yang diterima BPJS. Dalam teori principal-agent, hubungan antara pemerintah (principal) dan BPJS (agent) memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa sumber daya yang dikelola benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun, ketika alokasi anggaran tidak diaudit secara independen, hal ini membuka peluang terjadinya praktik manipulasi dan korupsi. Ketidakseimbangan antara dana yang digunakan untuk operasional lembaga dengan dana yang dialokasikan untuk pelayanan langsung menjadi salah satu indikasi potensi penyimpangan.
Di sisi lain, dukungan terhadap asuransi swasta sebagai solusi tambahan memunculkan pertanyaan mengenai posisi pemerintah dalam mengelola sistem jaminan kesehatan nasional. Imbauan ini dapat dianggap sebagai bentuk kegagalan sistem BPJS untuk menyediakan cakupan layanan yang memadai. Menurut teori regulasi publik, ketika pengambil kebijakan lebih berpihak kepada pelaku pasar dibandingkan dengan masyarakat, hal ini disebut sebagai regulatory capture. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan lemahnya independensi pemerintah, tetapi juga berpotensi mengorbankan hak-hak masyarakat berpenghasilan rendah.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Dampak kebijakan ini terhadap masyarakat sangat signifikan, terutama bagi kelompok rentan yang hanya mampu mengandalkan layanan dasar BPJS. Dengan meningkatnya biaya kesehatan yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh BPJS, keluarga berpenghasilan rendah sering kali terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Ketidakmampuan mereka membayar biaya tambahan dapat mengakibatkan penundaan pengobatan atau bahkan kematian akibat kurangnya akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang dikemukakan oleh Rawls, yang menekankan bahwa kebijakan publik harus memberikan keuntungan terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung.
Selain itu, dari sudut pandang administrasi keuangan, ketergantungan pada asuransi swasta dapat menciptakan pasar oligopoli di mana perusahaan asuransi memiliki kendali besar terhadap harga dan kebijakan layanan. Situasi ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga mengurangi daya saing BPJS sebagai penyedia layanan utama. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini dapat melemahkan posisi BPJS dalam sistem jaminan kesehatan nasional dan meningkatkan kesenjangan sosial.
Reformasi dan Solusi
Guna mengatasi permasalahan ini, pemerintah perlu melakukan reformasi mendalam terhadap sistem BPJS. Salah satu langkah strategis adalah memperkuat pengawasan melalui audit keuangan independen yang dilakukan secara berkala. (Red)
Berita