Berita

Breaking News

Sosiologi Korupsi: Membongkar Bayang-Bayang Kekuasaan dalam Tarian Liar Manipulasi

Ahyar Wahyudi

Pendahuluan

Korupsi adalah seperti angin malam yang dingin, berhembus tanpa terlihat, namun begitu terasa oleh setiap lapisan masyarakat. Ia menari di antara lorong-lorong gelap kekuasaan, menjalin simpul-simpul rahasia yang mengikat para pelakunya dalam jalinan kepentingan pribadi yang licin dan tak tersentuh. Sebuah tarian yang lihai, di mana penonton yang menyaksikannya terkadang tak sadar bahwa mereka telah menjadi bagian dari skenario yang sudah lama dimainkan. Korupsi bukan hanya soal uang yang berpindah tangan secara ilegal, tetapi tentang ketidakadilan yang menjalar seperti akar pohon tua, merambat tanpa disadari hingga menjerat mereka yang berada di dalamnya.

Dalam dunia yang semakin terhubung ini, korupsi bagaikan cermin yang retak. Pecahan-pecahan cerminnya memantulkan kilasan kebenaran, tetapi terlalu terpecah untuk membentuk gambaran utuh. Ia ada di balik senyum ramah pejabat, di dalam janji manis pembangunan, di balik keputusan yang terlihat mulia. Namun di balik layar, ada jaringan tak kasat mata yang memainkan perannya dalam memastikan keuntungan pribadi tetap mengalir. Korupsi adalah bayangan hitam yang selalu hadir di balik kekuasaan, sebuah warisan tak kasat mata yang terus tumbuh seiring dengan waktu.

Mutasi dan Promosi Jabatan: Uang atau Kekuatan Relasi

Salah satu modus korupsi yang paling umum dalam lingkungan aparatur sipil negara (ASN) adalah praktik mutasi dan promosi jabatan berdasarkan kemampuan finansial atau hubungan pribadi dengan "orang kuat." Bagi mereka yang mampu membayar atau memiliki akses ke pejabat yang berpengaruh, promosi menjadi lebih mudah dicapai. Fenomena ini menciptakan distorsi dalam sistem meritokrasi, di mana penilaian berdasarkan prestasi dan kompetensi sering kali diabaikan demi kepentingan pribadi. Seorang ASN yang memenuhi syarat secara kualifikasi bisa tertahan dalam jabatannya, sementara yang mampu "membayar" atau memiliki relasi yang kuat melenggang dengan mudah ke posisi yang lebih tinggi.

Praktik ini tidak hanya merugikan individu yang seharusnya berhak mendapatkan posisi tersebut, tetapi juga berdampak buruk pada kualitas birokrasi secara keseluruhan. ASN yang dipromosikan karena faktor finansial atau politik cenderung kurang kompeten, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas pelayanan publik. Seperti yang dicatat oleh Alatas (1986), korupsi semacam ini menciptakan ekosistem di mana institusi pemerintahan dijalankan berdasarkan hubungan pribadi, bukan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalisme dan integritas.

Perizinan dan Birokrasi yang Tergadai oleh Relasi

Di Indonesia, perizinan dan proses birokrasi sering kali berjalan lancar bagi mereka yang memiliki koneksi. Relasi menjadi "pelicin" untuk mempermudah birokrasi yang seharusnya berjalan dengan standar yang sama untuk semua orang. Bagi mereka yang tidak memiliki relasi, proses yang sama memerlukan biaya tambahan, berupa suap atau "uang pelicin." Fenomena ini sering terjadi dalam urusan perizinan bisnis, pembangunan, hingga izin proyek.

Praktik ini jelas merusak prinsip keadilan dalam pelayanan publik. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan layanan tanpa diskriminasi justru terhambat oleh kebutuhan untuk memberikan suap agar prosesnya berjalan lebih cepat. Kondisi ini memperkuat kesenjangan sosial antara mereka yang memiliki relasi dan mereka yang tidak, sekaligus memperburuk citra birokrasi sebagai lembaga yang korup dan tidak efisien. Rose-Ackerman (1999) menyatakan bahwa korupsi semacam ini melemahkan institusi-institusi demokrasi, karena masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah yang seharusnya melayani mereka dengan adil.

Penggunaan Perusahaan Rekanan atau Keluarga untuk Proyek Pemerintah

Modus lain yang sering muncul dalam lingkungan birokrasi adalah penggunaan perusahaan rekanan atau keluarga untuk memenangkan proyek pemerintah. Praktik ini memungkinkan pejabat publik mengendalikan proyek-proyek besar melalui perusahaan yang dimiliki oleh kerabat atau orang terdekatnya. Dengan cara ini, keuntungan finansial dari proyek pemerintah yang seharusnya dikelola secara transparan justru masuk ke kantong pribadi.

Ini adalah bentuk korupsi yang merusak integritas pengadaan barang dan jasa publik. Alih-alih memilih perusahaan yang paling kompeten berdasarkan kualitas dan penawaran harga yang adil, pejabat publik lebih memilih perusahaan yang memiliki hubungan pribadi dengannya. Hal ini menyebabkan proyek-proyek pemerintah sering kali mengalami masalah kualitas dan keterlambatan, karena perusahaan yang terlibat dipilih bukan berdasarkan kapabilitas mereka, tetapi berdasarkan hubungan mereka dengan pengambil keputusan.

Pertanggungjawaban Fiktif dan Penyelewengan dalam Dinas dan Anggaran

Praktik pertanggungjawaban fiktif juga menjadi salah satu bentuk korupsi yang merajalela dalam birokrasi. Sering kali, laporan perjalanan dinas, transportasi, atau pengeluaran untuk pesanan makan tidak sesuai dengan realitas. ASN yang terlibat dalam perjalanan dinas sering kali mengklaim biaya lebih tinggi daripada yang sebenarnya dikeluarkan. Hal yang sama berlaku untuk pesanan makan dalam acara-acara resmi, di mana kuantitas dan kualitas yang dilaporkan berbeda jauh dari kenyataan, namun tetap dilaporkan penuh untuk mendapatkan penggantian anggaran.

Penyelewengan anggaran semacam ini menggerogoti dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan yang lebih penting. Dalam jangka panjang, praktik seperti ini menciptakan lubang besar dalam anggaran negara, mengurangi kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan publik yang memadai bagi masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran publik adalah kunci untuk mencegah praktik-praktik semacam ini, tetapi sayangnya, dalam banyak kasus, sistem pengawasan sering kali tidak efektif.

Ekspektasi Atasan Terhadap "Pemberian Khusus" dari Bawahan

Fenomena lain yang mengakar dalam budaya birokrasi adalah harapan atasan terhadap bawahan untuk memberikan "uang terima kasih" atau "pemberian khusus." Bawahan yang ingin dipandang sebagai pekerja yang baik sering kali merasa harus memberikan sejumlah uang kepada atasan, baik sebagai bentuk apresiasi atau untuk memastikan kelancaran kariernya. Praktik ini secara tidak langsung memaksa bawahan untuk terlibat dalam korupsi, meskipun mungkin mereka melakukannya dengan enggan.

Budaya semacam ini memperparah korupsi secara sistemik. Para bawahan yang dipaksa memberikan uang kepada atasan mereka pada gilirannya akan mencari cara untuk menutup kerugian finansial yang mereka alami, baik melalui penggelembungan biaya atau praktik-praktik korup lainnya. Seperti yang dicatat oleh Putnam (2000), sistem semacam ini melemahkan kepercayaan antara pegawai publik, menciptakan lingkungan kerja yang penuh dengan ketidakjujuran dan manipulasi.

Memanfaatkan Kesempatan untuk Kepentingan Pribadi

Kurangnya integritas dalam birokrasi juga sering kali menjadi pemicu utama korupsi. Beberapa individu memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk keuntungan pribadi, bahkan jika itu berarti melanggar aturan atau etika yang berlaku. Misalnya, seorang pejabat yang memiliki akses ke informasi sensitif mengenai proyek pemerintah mungkin menggunakan informasi tersebut untuk berinvestasi atau mengambil keuntungan pribadi. Praktik semacam ini menunjukkan betapa integritas menjadi elemen yang hilang dalam struktur birokrasi yang korup.

Korupsi semacam ini tidak hanya merusak integritas individu yang terlibat, tetapi juga merusak sistem pemerintahan secara keseluruhan. Dalam lingkup yang lebih luas, perilaku semacam ini memperkuat siklus ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat, yang pada akhirnya memperburuk efektivitas kebijakan publik.

Penerimaan Fasilitas dan Fee Komitmen dari Rekanan Proyek

Salah satu modus yang paling umum dalam korupsi proyek pemerintah adalah penerimaan fasilitas atau komisi dari rekanan yang memenangkan tender. Pejabat yang bertanggung jawab atas proyek sering kali menerima fasilitas seperti kendaraan, akomodasi mewah, atau bahkan uang tunai dari perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut. Sebagai gantinya, pejabat tersebut memberikan perlakuan istimewa, termasuk memperlancar proses proyek atau bahkan mengabaikan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh rekanan.

Praktik semacam ini merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan publik. Ketika pejabat menerima suap atau fasilitas dari rekanan, kepentingan masyarakat sering kali diabaikan. Proyek yang seharusnya dikerjakan dengan standar tinggi dan sesuai anggaran justru dilaksanakan dengan kualitas rendah karena pengawasan yang lemah. Dalam jangka panjang, masyarakatlah yang menanggung kerugian dari infrastruktur yang buruk dan layanan publik yang tidak memadai.

Penutup: Melawan Bayangan Korupsi

Korupsi adalah bayangan yang selalu mengintai di balik setiap tindakan kekuasaan. Ia bergerak dengan tenang, terkadang tak terlihat, tetapi dampaknya sangat nyata dan merusak. Seperti racun yang menyebar perlahan, ia melemahkan struktur masyarakat, menciptakan ketidakadilan, dan memperburuk kesenjangan sosial. Namun, di balik semua kegelapan itu, masih ada harapan. Seperti cermin yang retak, kita masih bisa mengumpulkan pecahan-pecahan yang tersisa dan membangun kembali kepercayaan, integritas, dan transparansi.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Antonio Gramsci, "Optimisme kehendak harus melawan pesimisme akal." Dalam pertarungan melawan korupsi, kita harus tetap optimis bahwa dengan kehendak kolektif, kita bisa melawan bayangan ini. Transparansi, partisipasi aktif masyarakat, dan reformasi struktural adalah kunci untuk menghapuskan tarian gelap korupsi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermartabat.

Referensi

Alatas, S. H. (1986). The Problem of Corruption. Singapore: Times Books.

Alatas, S. H. (1991). Corruption: Its Nature, Causes and Functions. Kuala Lumpur: S. Abdul Majed and Co.

Burawoy, M. (2004). Public sociologies: Contributions, dilemmas, and possibilities. Social Forces, 82(4), 1603-1618.

David, R. (2024). The sociology of corruption. Philippine Daily Inquirer. Retrieved from https://opinion.inquirer.net/177707/the-sociology-of-corruption

Khondker, H. H. (2006). Sociology of corruption and ‘corruption of sociology’: Evaluating the contributions of Syed Hussein Alatas. Current Sociology, 54(1).

Németh, E. (2021). Módszertani szempontok a hazai korrupciós helyzet tudományosan megalapozott mérésének kialakításhoz. Belügyi Szemle.

Osrecki, F. (2017). A short history of the sociology of corruption: The demise of counter-intuitivity and the rise of numerical comparisons. The American Sociologist, 48(1), 103-125.

Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster.

Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform. Cambridge: Cambridge University Press.
© Copyright 2022 - Kalsel Today