Ada momen-momen dalam hidup yang tiba seperti lembaran kenangan yang terbang tertiup angin, mengingatkan kita pada masa-masa yang hampir terlupakan. Setelah lebih dari 20 tahun, kesempatan langka ini membawa saya kembali ke Amuntai, kota kecil yang dulu menjadi saksi masa remaja penuh tawa dan petualangan. Pertemuan kali ini di 6 Degrees Cafe, Jl. Patmaraga, Kebun Sari, Amuntai, mempertemukan saya kembali dengan sahabat-sahabat lama dari SMA Negeri 1 Amuntai. Mereka yang hampir setiap hari masih bisa bertemu dan bertukar cerita di kota ini, sementara saya, yang pergi jauh bertahun-tahun, baru kali ini kembali dan berkumpul lagi. Waktu telah berjalan, tetapi ada rasa hangat yang tetap sama, meski kini kami duduk dengan wajah yang telah berubah—garis-garis halus menghiasi sudut mata, rambut mulai beruban, dan cerita hidup yang berlapis lebih dalam.
Di antara secangkir kopi hangat dan suasana sore yang menenangkan, tawa dan canda kami mengisi kafe itu seperti tak ada yang berubah. Mereka, yang tinggal di Amuntai dan kerap bertemu, telah melanjutkan cerita-cerita mereka, sementara saya menjadi pendengar, mencoba mengejar ketinggalan, menikmati cerita tentang keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka di kota ini. Ada keakraban yang berbeda di antara mereka—keintiman kecil yang terjalin dalam kebersamaan sehari-hari, yang terasa hangat dan mengundang, namun juga menyadarkan saya bahwa waktu memang tak pernah benar-benar berhenti.
Dalam percakapan kami, muncul topik tentang usia—sebuah konsep yang dulu terasa jauh, tapi kini nyata. Kami berbicara tentang usia kronologis dan usia biologis, dua hal yang kini menjadi refleksi hidup kami masing-masing. Usia kronologis, tentu saja, adalah angka di KTP, yang tak bisa dicegah bertambah setiap tahun. Namun, usia biologis—bagaimana kondisi tubuh dan kesehatan kita—itu adalah hasil dari pilihan-pilihan hidup yang telah kita buat selama ini. Teman-teman saya, yang rutin berkumpul dan mendukung satu sama lain dalam kebiasaan sehat seperti olahraga atau aktivitas fisik, tampak lebih bugar dibanding saya yang hidup di kota besar dengan pola hidup yang mungkin tak seimbang.
“Usia kita sama, tapi rasanya tubuh mulai memberi tanda protes,” canda salah satu teman saya, disambut tawa yang lain. Ini bukan sekadar gurauan; di balik tawa itu ada refleksi bahwa pilihan hidup yang kita buat hari ini akan terlihat esok. Menurut teori tentang usia biologis, tubuh kita mencatat setiap pengalaman dan kebiasaan yang kita lakukan, mulai dari makanan yang kita konsumsi hingga aktivitas fisik yang kita lakukan sehari-hari. Usia biologis bisa berbeda jauh dari usia kronologis, tergantung dari seberapa baik kita merawat diri kita. Teman saya yang rajin berolahraga dan menjaga pola makan dengan baik tampak lebih sehat dan energik, sementara yang lain mulai merasakan efek usia pada punggung atau lutut mereka.
Percakapan ini membawa saya pada refleksi yang dalam, bahwa meski saya mungkin tinggal jauh dari mereka, waktu telah mengajarkan banyak hal serupa kepada kami semua. Setiap tawa sore itu adalah jalinan kenangan yang membawa kami kembali ke masa SMA, di mana usia hanyalah angka dan tubuh seakan tak mengenal lelah. Kini, kami berbicara dengan kebijaksanaan baru, tentang bagaimana menjalani hidup yang lebih bijaksana, karena kami sadar bahwa kesehatan adalah investasi jangka panjang.
Sebelum kami berpisah, mereka mengingatkan saya untuk tidak menunggu terlalu lama untuk kembali berkumpul. Mereka, yang bertemu hampir setiap hari di Amuntai, berjanji akan selalu ada ketika saya ingin kembali. Dalam hati, saya merasa beruntung masih memiliki sahabat-sahabat yang seperti keluarga—tempat kembali, meski waktu dan jarak kerap memisahkan kami.
Sore itu di 6 Degrees Cafe, kami mengerti bahwa waktu memang berlalu, tetapi persahabatan sejati tak pernah pudar. Di sini, dalam tawa dan kenangan, kami menemukan kembali makna kebersamaan, bahwa usia hanyalah angka, sementara hati yang saling terhubung akan selalu remaja.
Berita