Berita

Breaking News

Doktoral: Antara Jejak Kemuliaan dan Bayang-Bayang Keterasingan di Era Digital


Di sebuah perpustakaan tua, di antara tumpukan buku-buku berdebu yang halaman-halamannya mulai menguning, seorang akademisi duduk termenung. Cahaya matahari yang redup masuk melalui jendela kecil di sudut ruangan, menyoroti wajahnya yang lelah namun penuh semangat. Jari-jarinya menyusuri baris-baris tulisan ilmiah dengan hati-hati, seolah mencari kebenaran yang telah lama tersembunyi di antara barisan kata-kata itu. Inilah simbol keheningan pencarian ilmu yang tiada akhir, tempat di mana setiap doktoral menjadi saksi bisu dari perjuangan manusia mencari makna hidup dan dunia. Di ruang ini, ilmu adalah harta karun yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang sabar dan gigih. Namun, dalam keheningan itu, terdengar gemuruh lain, dari dunia luar yang berubah dengan cepat. Dunia yang kini diisi oleh kilatan layar, informasi yang datang secepat kilat, dan pengakuan yang lebih sering diraih oleh popularitas daripada kebijaksanaan.

Perjalanan seorang doktoral di masa lalu seolah menggambarkan laku spiritual yang agung. Mencapai gelar doktoral ibarat menempuh ziarah panjang menuju puncak pengetahuan yang tertutup kabut, di mana hanya sedikit yang berhasil sampai. Di masa itu, seorang doktoral adalah simbol dari pemilik kunci pengetahuan yang terbatas. Eksklusivitas ilmu membuatnya begitu berharga, layaknya permata yang hanya bisa ditemukan di kedalaman bumi. Gelar ini menjadi bukti tak terbantahkan dari dedikasi, ketekunan, dan kecerdasan seseorang. Seorang doktoral pada tahun 1924 tidak hanya dihormati karena pengetahuannya, tetapi juga karena perjalanannya yang penuh kesulitan dan pengorbanan.

Akan tetapi, di tahun 2024, makna perjalanan ini mulai kabur. Dunia yang kita tinggali sekarang adalah dunia di mana informasi berlimpah ruah. Pengetahuan tidak lagi menjadi sesuatu yang eksklusif. Siapapun dengan akses internet bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang dulunya hanya bisa dijawab oleh para doktoral. Internet, yang menjadi perpustakaan raksasa, memberikan semua orang akses tanpa batas terhadap data, teori, dan penelitian. Di satu sisi, ini adalah revolusi dalam penyebaran pengetahuan, tetapi di sisi lain, eksklusivitas yang pernah menjadi kekuatan doktoral kini memudar. Pengetahuan yang dulu dianggap sebagai komoditas langka, kini menjadi hal biasa yang bisa diakses dengan sekali klik.

Keadaan ini menciptakan ironi bagi para doktoral modern. Mereka yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan finansial untuk mencapai gelar doktoral sering kali merasa bahwa apa yang mereka raih tidak lagi mendapat penghargaan yang layak. Di era teknologi digital ini, gelar doktoral tidak lagi menjamin otoritas, apalagi kesejahteraan finansial. Faktanya, banyak doktoral yang mendapati bahwa gaji mereka jauh lebih rendah dibandingkan profesi yang membutuhkan keterampilan teknis, seperti tukang ledeng atau pekerja industri. Dunia kerja telah bergeser, dan keterampilan praktis kini lebih dihargai daripada pengetahuan teoritis yang mendalam.

Fenomena ini dapat dianalisis melalui teori kapitalisme kognitif, di mana pengetahuan dan informasi diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dengan cara yang sama seperti barang dagangan lainnya. Gelar doktoral yang dulunya melambangkan puncak pencapaian intelektual kini terjebak dalam arus kapitalisme yang menilai segala sesuatu berdasarkan seberapa cepat dan seberapa besar nilainya di pasar. Dalam kapitalisme kognitif, mereka yang mampu memproduksi dan mendistribusikan informasi secara cepat dan efisien—meskipun dangkal—lebih dihargai daripada mereka yang mendalami satu bidang ilmu secara serius selama bertahun-tahun. Di dunia seperti ini, seorang YouTuber yang berbicara tentang topik ilmiah secara populer bisa lebih terkenal dan lebih berpengaruh daripada seorang doktoral yang telah menulis puluhan makalah akademik.

Tidak hanya itu, postmodernisme juga memberikan perspektif lain yang relevan. Jean-François Lyotard, dalam karyanya  The Postmodern Condition, menyoroti hilangnya metanarasi besar yang dulunya menjadi landasan bagi otoritas ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, tidak ada lagi satu narasi tunggal yang mendominasi kebenaran. Kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan untuk mendistribusikannya. Dalam konteks ini, seorang doktoral tidak lagi memegang otoritas tertinggi dalam bidangnya karena banyak narasi lain yang bersaing untuk mendefinisikan apa yang benar dan relevan. YouTuber, influencer, dan bahkan selebriti bisa memiliki otoritas yang sama—atau bahkan lebih besar—dalam mata masyarakat.

Situasi ini menciptakan dilema yang tidak mudah dipecahkan. Di satu sisi, demokratisasi pengetahuan melalui teknologi telah memberikan banyak manfaat. Banyak orang yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadap pendidikan tinggi kini bisa belajar tentang berbagai topik yang dulunya eksklusif. Di sisi lain, ketika semua orang bisa menjadi “pakar,” nilai dari gelar akademik seperti doktoral menjadi kabur. Ini bukan hanya tentang penurunan nilai ekonomi dari gelar tersebut, tetapi juga tentang erosi nilai moral dan simbolis yang terkait dengan pencarian kebenaran dan dedikasi ilmiah.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ada harapan bahwa akademisi dapat menyesuaikan diri dengan dinamika ini. Akademisi perlu lebih aktif dalam menyebarkan pengetahuan mereka melalui platform-platform digital, berpartisipasi dalam dialog publik, dan membangun narasi yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Di era ini, kemampuan untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dengan cara yang menarik dan relevan menjadi keterampilan yang sama pentingnya dengan kemampuan untuk melakukan riset mendalam. Teori komunikasi massa dapat membantu kita memahami pentingnya peran media dalam membentuk persepsi publik tentang ilmu pengetahuan. Jika para akademisi ingin tetap relevan, mereka perlu menguasai cara memanfaatkan media sebagai alat untuk menyebarkan ide-ide mereka.

Namun, tantangan lain yang muncul adalah soal kualitas informasi. Ketika informasi tersebar secara bebas, seringkali tidak ada mekanisme yang kuat untuk menyaring mana yang benar dan mana yang tidak. Teori agenda setting dalam studi komunikasi menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan isu apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Dalam konteks ini, ketika media lebih fokus pada konten yang bersifat viral daripada yang mendalam, masyarakat bisa terjebak dalam lingkaran informasi yang dangkal dan menyesatkan. Ini menjadi salah satu risiko utama dari era digital, di mana kebenaran ilmiah sering kali tenggelam di antara lautan konten yang menghibur tetapi dangkal.

Di akhir narasi ini, kita harus merenungkan nasib gelar doktoral di masa depan. Apakah doktoral akan kehilangan maknanya di tengah derasnya arus teknologi dan kapitalisme informasi, atau justru menemukan cara baru untuk mempertahankan relevansinya? Bagi masyarakat, tantangan ini bukan hanya soal bagaimana menghargai gelar akademik, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai kolektif mempertahankan nilai-nilai keilmuan dan dedikasi terhadap kebenaran. Gelar doktoral mungkin tidak lagi menjadi simbol otoritas tunggal, tetapi ia masih bisa menjadi penjaga pintu kebenaran, asalkan ia mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Dalam kata-kata Immanuel Kant, Ilmu pengetahuan tanpa hati nurani hanyalah kehancuran bagi jiwa manusia. Teknologi dan aksesibilitas informasi adalah alat yang luar biasa, tetapi tanpa landasan moral dan etika, ilmu pengetahuan bisa terperosok ke dalam jurang pragmatisme yang dangkal. Seorang doktoral, baik di tahun 1924 maupun 2024, memiliki tugas yang sama: bukan hanya untuk menemukan kebenaran, tetapi juga untuk menjaga agar kebenaran itu tetap bermakna dalam kemanusiaan. Dalam dunia yang terus berubah ini, tantangan terbesar seorang doktoral adalah menemukan keseimbangan antara pengetahuan yang terbuka dan tanggung jawab yang tertutup di dalam dirinya sendiri. Sebagaimana kata bijak sufi, Ilmu adalah lentera di tengah malam yang gelap, tetapi hati yang tulus adalah tangan yang menuntun lentera itu agar tidak jatuh.

Dengan refleksi ini, kita diingatkan bahwa meskipun teknologi dan zaman telah berubah, inti dari pencarian ilmiah tetap sama: memahami dunia, memperbaiki kehidupan, dan menjaga agar pengetahuan tetap menjadi pilar kemanusiaan yang kokoh di tengah badai perubahan. ***



© Copyright 2022 - Kalsel Today