Berita

Breaking News

Menata Kembali Cermin Keteladanan: Analisis Psikologis atas Arogansi dalam Kepemimpinan


Oleh.  DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Dalam salah satu kejadian di Kalimantan Selatan pada awal september ceria ini, seorang Kepala Dinas menunjukkan sikap arogan yang mengejutkan banyak pihak. Peristiwa ini, yang dilaporkan oleh media lokal, menggambarkan bagaimana seorang pemimpin yang seharusnya menjadi teladan malah terperangkap dalam arogansi yang merusak hubungan baik dengan bawahannya. Dalam peristiwa tersebut, seorang guru yang berani menegur perilaku tidak pantas pemimpinnya malah diusir dari ruangan, sebuah tindakan yang menyingkap sisi gelap kepemimpinan yang diwarnai oleh dominasi ego.

Kasus ini bukan hanya tentang pelanggaran etika, tetapi juga tentang bagaimana psikologi kepemimpinan memainkan peran penting dalam membentuk budaya dan dinamika organisasi. Arogansi yang ditunjukkan oleh sang Kepala Dinas adalah manifestasi dari apa yang dalam psikologi dikenal sebagai narcissistic leadership, di mana seorang pemimpin dengan ego yang besar cenderung melihat dirinya sebagai pusat kekuasaan yang tak tersentuh, memandang rendah kritik, dan menolak introspeksi.

Arogansi ini sering kali merupakan topeng bagi rasa ketidakamanan yang mendalam, di mana pemimpin mencoba menutupi kekurangannya dengan menunjukkan dominasi yang berlebihan. Ini adalah bentuk defense mechanism atau mekanisme pertahanan, yang meskipun tampaknya menunjukkan kekuatan, sebenarnya mengungkapkan kelemahan emosional yang mendasar. Psikologi mengajarkan kita bahwa ketika seorang pemimpin merasa terancam atau tidak yakin akan kemampuannya, ia mungkin merespons dengan perilaku arogan sebagai upaya untuk mempertahankan otoritasnya.

Tindakan merokok di ruang rapat tertutup oleh sang Kepala Dinas bisa dilihat sebagai bentuk overcompensation, di mana perilaku negatif digunakan untuk menunjukkan kekuasaan. Ini tidak hanya melanggar norma kesehatan dan aturan yang berlaku, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesadaran diri dan empati terhadap orang lain. Dalam ilmu psikologi, perilaku semacam ini dikaitkan dengan kurangnya emotional intelligence (kecerdasan emosional), yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta emosi orang lain.

Seorang pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan memahami bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang menunjukkan kekuasaan, tetapi juga tentang menciptakan psychological safety atau rasa aman psikologis bagi semua orang di sekitarnya. Ketika pemimpin mampu menunjukkan empati, mendengarkan kritik dengan hati terbuka, dan merespons dengan kebijaksanaan, mereka membangun lingkungan yang positif dan kondusif bagi pertumbuhan bersama. Sebaliknya, arogansi menciptakan toxic work environment, di mana rasa takut dan ketidakpercayaan mengalahkan kolaborasi dan inovasi.

Kepercayaan yang runtuh akibat tindakan arogan adalah seperti psychological rupture—keretakan emosional yang sulit diperbaiki dan dapat meninggalkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan mental bawahan. Dalam konteks ini, pemimpin telah gagal menjalankan peran utamanya sebagai model moral dan etika bagi mereka yang dipimpinnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Bandura (1977) dalam teorinya tentang Modeling, pemimpin adalah figur yang ditiru oleh orang lain, dan ketika mereka menunjukkan perilaku yang tidak pantas, mereka tidak hanya merusak reputasi mereka sendiri, tetapi juga memberikan contoh buruk bagi bawahan.

Dalam teori psikologi sosial, John Rawls (1971) menegaskan pentingnya fairness heuristic dalam hubungan antarindividu, di mana persepsi keadilan mempengaruhi kepuasan dan komitmen seseorang terhadap organisasi. Ketidakadilan yang dirasakan, seperti yang terjadi pada guru yang diusir, mengikis rasa percaya dan loyalitas, menciptakan power distance yang tidak sehat dan meningkatkan alienasi dalam hubungan kerja.

Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik harus mampu menghindari jebakan psikologis dari arogansi dan sebaliknya mengembangkan authentic leadership. Ini adalah jenis kepemimpinan yang berlandaskan pada keterbukaan, kejujuran, dan rasa hormat terhadap orang lain, yang membangun kepercayaan dan integritas. Dalam authentic leadership, pemimpin tidak takut mengakui kelemahan mereka dan bersedia untuk belajar dari kritik, karena mereka memahami bahwa kekuatan sejati berasal dari kerendahan hati dan kebijaksanaan.

Pada akhirnya, dalam dunia pendidikan yang diharapkan menjadi tempat berkembangnya nilai-nilai moral dan etika, perilaku arogan tidak seharusnya memiliki tempat. Keteladanan dalam kepemimpinan adalah cermin yang memantulkan cahaya kebijaksanaan dan kebenaran. Ketika cermin ini menjadi buram oleh arogansi, kita kehilangan pandangan yang jelas tentang apa yang seharusnya menjadi tujuan utama dari kepemimpinan: yaitu melayani dan memberikan contoh yang baik.

Sebagai pemimpin, kita harus terus-menerus mengasah kecerdasan emosional kita, menjaga integritas, dan berusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dengan demikian, kita tidak hanya akan dihormati oleh mereka yang kita pimpin, tetapi juga akan dikenang sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, dan penuh empati. Arogansi mungkin memberikan kekuasaan sesaat, tetapi hanya kepemimpinan yang penuh adab dan kebijaksanaan yang akan bertahan dalam ujian waktu.
© Copyright 2022 - Kalsel Today