Berita

Breaking News

Birokrasi atau Bisnis? Ketika Negara Bertransaksi dengan Rakyat: Refleksi pada Penggunaan Meterai dalam Pendaftaran CPNS


Oleh.  DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)


Dalam kesunyian sistem birokrasi yang berdetak tanpa suara, terletak suatu pertanyaan besar yang mengusik benak kita semua: apakah negara, yang seharusnya hadir sebagai pelayan rakyat, secara diam-diam telah bertransformasi menjadi entitas yang berbisnis dengan warganya? Fenomena ini mungkin terasa samar, terbungkus dalam formalitas yang tampak sah dan tak terbantahkan. Namun, ketika kita memeriksa lebih dalam, syarat penggunaan meterai dalam pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) memperlihatkan kepada kita suatu dinamika yang mengarah pada hubungan transaksional antara rakyat dan negara. Seolah-olah, setiap langkah administrasi yang diambil rakyat harus dibayar, seakan negara sedang menjalankan bisnis dari setiap tarikan napas administrasi.

Mari kita bayangkan sejenak: seorang calon pelamar CPNS, penuh semangat untuk mengabdi kepada negara, mendapati dirinya harus merogoh kocek demi membeli meterai untuk setiap dokumen yang diunggah. Di sinilah letak permasalahan yang lebih dalam. Apakah meterai ini benar-benar menjadi simbol keabsahan hukum, atau justru menjadi simbol negara yang menuntut pembayaran untuk setiap hak administratif yang semestinya menjadi bagian dari pelayanan publik?

Meterai: Simbol Formalitas atau Transaksi Fiskal?

Dalam perspektif administrasi publik, negara seharusnya berfungsi sebagai pelayan yang memfasilitasi hak-hak warganya dengan mudah dan murah. Max Weber (1947), dalam karya monumentalnya, menggambarkan birokrasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan rasionalitas demi terciptanya efisiensi dan keadilan dalam layanan publik. Namun, dalam praktiknya, penggunaan meterai—baik fisik maupun elektronik—sering kali justru menjadi hambatan administratif, bukan alat untuk memperlancar proses. Apalagi, ketika kita melihat bagaimana negara menuntut pelamar CPNS untuk membeli meterai dalam setiap tahapan pendaftaran, muncul kesan bahwa negara menjalankan suatu “bisnis terselubung” dari transaksi kecil yang pada akhirnya menguntungkan fiskal negara.

Meterai, seperti yang kita ketahui, secara sah merupakan instrumen fiskal untuk membuktikan keabsahan hukum sebuah dokumen. Tetapi dalam tataran pendaftaran CPNS, apakah hal ini benar-benar diperlukan? Jika meterai hanya menjadi formalitas belaka, di mana dokumen tersebut bisa divalidasi melalui tanda tangan elektronik atau verifikasi digital, maka penggunaannya perlu dipertanyakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2000) dalam teori administrasi publik modern, negara harus berfokus pada pelayanan publik yang memberikan nilai bagi masyarakat. Jika meterai tidak memberikan nilai tambah yang nyata bagi pelamar CPNS, maka mungkin kita sedang melihat formalitas yang tidak lagi relevan di era digital.

Negara Berbisnis dengan Rakyat: Antara Pelayanan dan Komersialisasi Administrasi

Ketika kita berbicara tentang syarat meterai dalam pendaftaran CPNS, kita tidak bisa mengabaikan dinamika yang mencerminkan bagaimana negara, tanpa disadari, tampak menjalankan bisnis dengan rakyatnya. Michel Foucault (1977) dalam Discipline and Punish menggambarkan bagaimana kekuasaan negara sering kali bersembunyi di balik prosedur-prosedur kecil yang tampak tak signifikan, namun sesungguhnya memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat. Meterai, dalam hal ini, bukan hanya sebuah tanda keabsahan hukum; ia adalah instrumen kekuasaan yang menuntut rakyat untuk membayar hak-hak administratif mereka.

Mari kita bayangkan seorang pelamar CPNS yang berada di daerah pelosok, yang harus berjuang untuk mengakses e-meterai yang seringkali terganggu karena masalah teknis. Mereka tidak hanya berhadapan dengan birokrasi yang berbelit, tetapi juga diharuskan untuk mengeluarkan uang ekstra demi membeli meterai agar dokumen mereka dianggap sah. Di sinilah letak masalahnya. Apakah negara sedang melayani atau justru melakukan transaksi administratif dengan warganya?

Jika kita melihat dari perspektif teori pertukaran sosial yang dikemukakan oleh Blau (1964), hubungan antara negara dan warganya seharusnya didasarkan pada prinsip timbal balik yang adil. Negara menyediakan layanan, sementara warga negara memberikan dukungan atau kontribusi dalam bentuk pajak dan kepatuhan terhadap aturan. Namun, ketika meterai diwajibkan dalam proses administrasi yang sebenarnya bisa dipermudah dengan teknologi digital, kita bisa melihat bagaimana negara bergerak dari posisi sebagai pelayan publik menjadi entitas yang “menjual” layanan administratif kepada warganya.

Ekonomi Politik dan Beban Ganda: Pajak Terselubung dalam Administrasi Publik

Dari sudut pandang ekonomi politik, penggunaan meterai dalam pendaftaran CPNS menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “pajak terselubung.” James Buchanan (1967), dalam teorinya tentang public choice, menjelaskan bagaimana negara sering kali bertindak seperti entitas ekonomi yang berusaha memaksimalkan pendapatannya dari warganya, terkadang melalui mekanisme yang tidak langsung. Meterai, meskipun tampak sebagai bagian kecil dari biaya administrasi, adalah instrumen pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap pelamar CPNS. Setiap meterai yang dibeli pelamar bukan hanya simbol keabsahan dokumen, tetapi juga merupakan sumber pendapatan negara.

Dalam ekonomi publik, ada istilah yang disebut double taxation atau pajak ganda (Stiglitz, 2000), di mana individu dikenakan pajak dua kali untuk hal yang sama. Dalam kasus meterai, pelamar CPNS seolah-olah membayar dua kali: pertama melalui pajak penghasilan mereka, dan kedua melalui meterai yang mereka beli untuk memenuhi persyaratan administratif. Ini menciptakan beban ganda yang tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga mengurangi efisiensi sistem administrasi publik itu sendiri.

Persepsi Sosial: Keadilan dalam Pelayanan Publik

Persepsi masyarakat terhadap keadilan dalam pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh seberapa adil dan efisiennya sistem administrasi yang diterapkan negara. Teori procedural justice yang dikemukakan oleh Thibaut dan Walker (1975) menekankan bahwa kepuasan masyarakat terhadap proses administratif bergantung pada transparansi dan keadilan dalam pelaksanaannya. Jika meterai dianggap sebagai syarat yang tidak adil dan hanya menambah beban finansial, maka hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem seleksi CPNS secara keseluruhan.

Dalam psikologi sosial, penting bagi negara untuk menciptakan sistem yang tidak hanya efisien tetapi juga dianggap adil oleh masyarakat. Penggunaan meterai dalam pendaftaran CPNS, terutama dalam kondisi di mana teknologi alternatif seperti tanda tangan elektronik sudah tersedia, dapat menciptakan persepsi bahwa negara tidak benar-benar berusaha mempermudah proses bagi warganya. Sebaliknya, syarat ini bisa dianggap sebagai upaya negara untuk memanfaatkan setiap langkah administrasi sebagai kesempatan untuk meningkatkan pendapatan fiskal.

Digitalisasi dan Masa Depan Birokrasi: Mengganti Meterai dengan Teknologi Modern

Di era digital, penggunaan teknologi dalam administrasi publik seharusnya menjadi jalan keluar dari berbagai hambatan birokrasi yang selama ini membebani masyarakat. Heeks (2006) dalam bukunya tentang e-government menekankan bahwa digitalisasi administrasi tidak hanya tentang memindahkan layanan fisik ke platform digital, tetapi juga tentang menyederhanakan prosedur dan mengurangi beban administratif. Dalam kasus CPNS, penggantian meterai dengan tanda tangan elektronik yang diakui secara hukum atau sistem verifikasi digital dapat menghilangkan kebutuhan akan meterai, baik fisik maupun elektronik.

Teknologi seperti blockchain juga bisa diterapkan untuk memvalidasi dokumen secara aman dan efisien. Nakamoto (2008), dalam konsep blockchain, menjelaskan bagaimana teknologi ini memungkinkan verifikasi yang tidak dapat dimanipulasi tanpa perlu pihak ketiga. Jika sistem ini diintegrasikan dalam proses pendaftaran CPNS, validasi dokumen bisa dilakukan dengan lebih cepat, aman, dan tanpa memerlukan meterai. Teknologi ini tidak hanya mengurangi beban biaya bagi pelamar, tetapi juga meningkatkan efisiensi administrasi publik secara keseluruhan.

Perspektif Filosofis: Negara Sebagai Pelayan, Bukan Pedagang

Dalam diskursus filosofi politik, hubungan antara negara dan warga negara seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip social contract, seperti yang diuraikan oleh Jean-Jacques Rousseau (1762). Negara ada untuk melayani kepentingan umum, bukan untuk mengeksploitasi warganya melalui mekanisme yang hanya menguntungkan fiskal negara. Ketika penggunaan meterai lebih berfungsi sebagai instrumen pendapatan bagi negara daripada sebagai alat validasi yang benar-benar diperlukan, negara telah bergeser dari fungsinya sebagai pelayan menjadi pedagang.

John Locke (1690), dalam gagasannya tentang just government, menekankan bahwa negara harus melindungi hak-hak warga, termasuk hak ekonomi mereka. Jika syarat meterai dianggap memberatkan secara finansial tanpa memberikan manfaat yang jelas bagi pelamar CPNS, maka negara harus mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Ini bukan hanya soal efisiensi administrasi, tetapi juga soal keadilan sosial. Negara yang sah adalah negara yang melayani, bukan negara yang berbisnis dengan rakyatnya.

Kesimpulan: Menghapus Meterai, Mengembalikan Kepercayaan Publik

Pada akhirnya, penggunaan meterai dalam pendaftaran CPNS perlu dievaluasi kembali, bukan hanya dari segi teknis administrasi, tetapi juga dari sudut pandang keadilan sosial dan ekonomi. Jika negara benar-benar ingin melayani rakyatnya, maka ia harus menciptakan sistem administrasi yang sederhana, efisien, dan tidak membebani. Mengganti meterai dengan sistem verifikasi digital yang lebih modern dan inklusif adalah langkah yang dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap negara.

Negara harus berhenti “berbisnis” dengan rakyatnya. Pelayanan publik harus kembali kepada esensi utamanya: melayani tanpa menambah beban yang tidak perlu. Dengan demikian, negara akan kembali menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai entitas yang memanfaatkan setiap langkah administratif untuk meraih keuntungan finansial. Kita harus menuju era baru di mana birokrasi tidak lagi menjadi penghalang, tetapi menjadi jalan menuju keadilan dan kesejahteraan bagi semua warganya.
© Copyright 2022 - Kalsel Today