Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Di tengah gemerlap dunia digital yang serba cepat dan tanpa batas, kita sering kali lupa bahwa di balik setiap layar, ada manusia yang memiliki perasaan dan emosi. Keberadaan media sosial yang awalnya dimaksudkan untuk menyatukan dan mendekatkan, kini sering kali menjadi arena yang dipenuhi dengan kekerasan verbal dan tindakan merugikan yang dikenal sebagai cyberbullying. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi mencerminkan dinamika psikologis yang mendalam dalam diri pelaku dan korban.
Ketika kita berbicara tentang cyberbullying, seringkali kita terjebak dalam pembahasan yang superfisial, menyalahkan teknologi atau lingkungan sosial. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam, akar dari perilaku ini sering kali terkait erat dengan kepribadian gelap yang tersembunyi dalam diri individu, dikenal dengan istilah dark triad. Psikopati, narsistik, dan machiavellianisme menjadi tiga serangkai kepribadian yang kerap kali memicu perilaku destruktif ini.
Menelisik Jiwa di Balik Layar
Kepribadian psikopatik menggambarkan individu yang dingin, tak berperasaan, dan cenderung impulsif. Mereka tidak merasakan penyesalan ketika melukai orang lain, dan dunia maya menjadi lahan subur bagi mereka untuk mengekspresikan sisi gelap tersebut. Di sisi lain, kepribadian narsistik dipenuhi dengan rasa superioritas dan kebutuhan akan pengakuan. Mereka yang memiliki sifat ini cenderung merendahkan orang lain, mencari kekaguman dengan cara apapun, termasuk melalui cyberbullying. Sementara itu, machiavellianisme, yang dikenal dengan manipulasi dan eksploitasi interpersonal, memberikan mereka kemampuan untuk merencanakan dan menjalankan tindakan yang merugikan tanpa terdeteksi.
Namun, di balik semua ini, ada dua aspek penting yang sering terlupakan: empati dan regulasi emosi. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, sementara regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan respon emosional kita. Ketika kedua aspek ini rendah, pintu menuju perilaku cyberbullying terbuka lebar.
Refleksi Empati di Era Digital
Di era di mana anonimitas sering kali melindungi pelaku dari konsekuensi nyata, empati menjadi benteng terakhir yang dapat mencegah seseorang untuk melangkah lebih jauh dalam menyakiti orang lain. Individu yang memiliki empati tinggi akan berpikir dua kali sebelum menekan tombol "kirim" pada pesan yang merendahkan. Mereka memahami bahwa kata-kata dapat menyakiti lebih dalam daripada tindakan fisik, dan bahwa di balik setiap profil media sosial, ada seorang manusia yang mungkin sedang berjuang dengan masalahnya sendiri.
Sayangnya, dunia digital sering kali membuat kita kehilangan sisi kemanusiaan kita. Ketika kita tidak bisa melihat air mata di balik layar atau mendengar suara gemetar dari seseorang yang tersakiti, empati kita pun mulai tumpul. Di sinilah regulasi emosi berperan penting. Kemampuan untuk mengendalikan emosi, untuk menahan diri dari dorongan sesaat yang bisa berujung pada tindakan merugikan, menjadi kunci dalam menjaga harmoni di dunia maya.
Inspirasi untuk Perubahan
Penelitian telah menunjukkan bahwa kepribadian dark triad, terutama psikopati dan narsistik, memiliki hubungan erat dengan perilaku cyberbullying. Namun, ini bukan akhir dari cerita. Meskipun sifat-sifat ini sulit untuk diubah, kita masih bisa melakukan intervensi dengan mengembangkan empati dan kemampuan regulasi emosi. Pendidikan dan pelatihan yang fokus pada pengembangan empati, misalnya, dapat menjadi langkah awal untuk mencegah munculnya perilaku cyberbullying.
Di sekolah, di rumah, dan di masyarakat, kita perlu menanamkan nilai-nilai empati dan pentingnya mengelola emosi sejak dini. Ini bukan sekadar upaya untuk mengurangi kasus cyberbullying, tetapi juga untuk membentuk generasi yang lebih peduli, lebih memahami, dan lebih menghargai orang lain. Dunia digital yang kita ciptakan haruslah menjadi tempat yang aman dan positif bagi semua orang, terutama bagi mereka yang masih dalam masa pencarian jati diri, seperti para remaja.
Sebagai penutup, marilah kita semua merenung sejenak, mengingat bahwa di balik setiap akun media sosial, ada jiwa yang hidup, bernapas, dan merasakan. Dalam setiap tindakan kita di dunia maya, baik itu sekadar komentar atau pesan singkat, kita memiliki pilihan untuk menjadi cahaya atau kegelapan bagi orang lain. Mari kita memilih untuk menjadi cahaya, dengan empati sebagai panduan kita, dan regulasi emosi sebagai penjaga kita. Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan dunia digital yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih penuh kasih sayang.
Berita