Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Pengurus Pusat LAFKI)
Pendahuluan
Di tengah dinamika perubahan kebutuhan pelayanan kesehatan di Indonesia, akreditasi rumah sakit telah memainkan peran penting sebagai alat untuk memastikan kualitas dan keselamatan pasien. Saat ini, enam lembaga independen, yaitu LAFKI, KARS, LARSI, LARS DHP, LAM KPRS, dan LARS, telah diberikan mandat oleh Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan akreditasi rumah sakit. Masing-masing lembaga ini beroperasi dengan instrumen yang disusun oleh Kementerian Kesehatan dan bertujuan untuk menjamin bahwa rumah sakit memenuhi standar yang diperlukan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk layanan kesehatan yang lebih spesifik dan terfokus, seperti pada rumah sakit yang mengkhususkan diri dalam perawatan kanker, jantung, atau penyakit menular, muncul wacana untuk mengembangkan instrumen akreditasi yang dirancang khusus untuk rumah sakit-rumah sakit khusus ini.
Akreditasi Rumah Sakit Khusus: Kebutuhan yang Meningkat
Dalam teori manajemen mutu, konsep Total Quality Management (TQM) menekankan pada kebutuhan untuk terus-menerus meningkatkan kualitas dalam setiap aspek organisasi, termasuk di sektor kesehatan (Deming, 1986). Dalam konteks akreditasi rumah sakit, prinsip TQM ini dapat diterapkan untuk mengembangkan standar yang lebih spesifik dan relevan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit khusus. Rumah sakit yang fokus pada penyakit tertentu seperti kanker memerlukan instrumen akreditasi yang dapat menilai secara lebih mendalam tentang bagaimana rumah sakit tersebut menerapkan standar perawatan spesifik yang relevan dengan bidangnya.
Selain itu, model akreditasi yang diterapkan oleh Commission on Cancer (CoC) di Amerika Serikat dapat menjadi acuan. CoC menetapkan standar yang sangat spesifik untuk rumah sakit yang memberikan perawatan kanker, mencakup seluruh aspek mulai dari diagnosis, pengobatan, hingga rehabilitasi pasien (CoC, 2023). Mengadopsi model serupa di Indonesia akan memungkinkan rumah sakit khusus untuk menunjukkan kepatuhan terhadap standar internasional dalam pelayanan yang mereka berikan, serta mendorong peningkatan kualitas secara berkelanjutan.
Peluang dan Tantangan dalam Mengembangkan Akreditasi Rumah Sakit Khusus
Salah satu peluang utama dalam pengembangan akreditasi rumah sakit khusus adalah adanya kebutuhan untuk penilaian yang lebih mendalam dan komprehensif terhadap rumah sakit yang menyediakan layanan spesialis. Rumah sakit khusus sering kali memiliki kebutuhan yang berbeda dari rumah sakit umum, baik dalam hal infrastruktur, sumber daya manusia, maupun proses klinis. Misalnya, rumah sakit khusus jantung memerlukan evaluasi yang mendalam tentang bagaimana mereka menangani kasus-kasus kompleks seperti transplantasi jantung atau prosedur kardiovaskular yang canggih.
Namun, tantangan yang muncul dalam pengembangan instrumen akreditasi khusus ini tidaklah sedikit. Menurut teori Kontingensi dalam manajemen, setiap organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan eksternal dan internalnya (Lawrence & Lorsch, 1967). Dalam konteks akreditasi rumah sakit, ini berarti bahwa instrumen akreditasi harus fleksibel dan mampu menyesuaikan dengan variasi yang ada antara rumah sakit yang berbeda, baik dari segi spesialisasi maupun sumber daya yang tersedia. Ini menuntut pengembangan standar yang tidak hanya relevan tetapi juga dapat diadaptasi sesuai kebutuhan lokal.
Lebih lanjut, tantangan lain yang dihadapi adalah keterbatasan sumber daya dan kapasitas lembaga akreditasi dalam mengelola dan menilai rumah sakit-rumah sakit khusus ini. Hal ini mengharuskan adanya peningkatan kompetensi dan kapasitas lembaga akreditasi, termasuk melalui pelatihan dan sertifikasi bagi para surveyor yang akan melakukan penilaian terhadap rumah sakit khusus. Di sinilah konsep Continuous Professional Development (CPD) menjadi sangat relevan. CPD menekankan pentingnya pengembangan keterampilan dan pengetahuan secara berkelanjutan bagi profesional, termasuk mereka yang terlibat dalam proses akreditasi (Hager, Gonczi, & Athanasou, 1994).
Model dan Konsep Teoritis dalam Akreditasi Rumah Sakit Khusus
Mengembangkan instrumen akreditasi yang khusus untuk rumah sakit khusus tidak hanya membutuhkan adaptasi standar yang ada, tetapi juga memerlukan pengembangan model dan pendekatan teoritis baru yang relevan. Salah satu pendekatan yang dapat diadopsi adalah Model Donabedian, yang menilai kualitas perawatan kesehatan berdasarkan tiga komponen utama: struktur, proses, dan hasil (Donabedian, 1988). Model ini dapat diadaptasi untuk menciptakan instrumen akreditasi yang lebih spesifik untuk rumah sakit khusus, dengan fokus pada bagaimana infrastruktur (struktur), proses perawatan, dan hasil kesehatan pasien dinilai secara holistik.
Selain itu, teori Stakeholder yang dikemukakan oleh Freeman (1984) juga relevan dalam konteks ini. Teori ini menyatakan bahwa organisasi harus mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam operasinya. Dalam pengembangan akreditasi rumah sakit khusus, ini berarti bahwa pandangan dari berbagai pihak, termasuk pasien, penyedia layanan kesehatan, regulator, dan masyarakat luas, harus dipertimbangkan dalam penyusunan standar dan instrumen akreditasi.
Pendekatan lain yang dapat diterapkan adalah Lean Healthcare, yang menekankan pada efisiensi dan eliminasi pemborosan dalam proses perawatan (Womack & Jones, 1996). Lean Healthcare dapat menjadi kerangka kerja yang berguna dalam mengembangkan akreditasi rumah sakit khusus, dengan menilai sejauh mana rumah sakit mampu menerapkan prinsip-prinsip lean dalam manajemen klinis dan operasional mereka. Instrumen akreditasi yang dirancang berdasarkan prinsip lean dapat membantu rumah sakit khusus untuk meningkatkan efisiensi sambil mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas perawatan yang mereka berikan.
Implikasi untuk Pengembangan Akreditasi Rumah Sakit Khusus di Indonesia
Pengembangan akreditasi rumah sakit khusus di Indonesia memiliki implikasi yang luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, perlu ada peningkatan koordinasi antara enam lembaga akreditasi yang ada untuk memastikan bahwa standar yang dikembangkan konsisten dan relevan dengan kebutuhan spesifik rumah sakit khusus. Hal ini memerlukan dukungan penuh dari Kementerian Kesehatan, yang dapat memberikan panduan dan regulasi yang jelas tentang bagaimana instrumen khusus ini harus dikembangkan dan diterapkan.
Dalam jangka panjang, pengembangan akreditasi rumah sakit khusus dapat meningkatkan kualitas perawatan kesehatan di Indonesia secara keseluruhan. Dengan memiliki standar yang jelas dan spesifik, rumah sakit khusus dapat lebih fokus dalam meningkatkan kualitas perawatan mereka dan memastikan bahwa mereka memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien mereka. Selain itu, instrumen akreditasi khusus ini juga dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong inovasi dalam pelayanan kesehatan, karena rumah sakit akan didorong untuk mengembangkan praktik terbaik yang diakui secara internasional.
Akhirnya, dari perspektif teori inovasi difusi yang dikemukakan oleh Rogers (2003), pengembangan akreditasi rumah sakit khusus juga dapat dilihat sebagai inovasi yang perlu didifusikan secara efektif ke seluruh sistem kesehatan. Rogers menyatakan bahwa inovasi perlu diadopsi oleh individu dan organisasi melalui proses komunikasi yang efektif, yang melibatkan pemahaman akan manfaat inovasi tersebut serta kesesuaian dengan nilai-nilai dan kebutuhan pengguna. Dalam hal ini, penting untuk memastikan bahwa semua rumah sakit khusus di Indonesia, serta para pemangku kepentingan lainnya, memahami pentingnya dan manfaat dari akreditasi khusus ini, sehingga mereka akan terdorong untuk mengadopsinya.
Kesimpulan
Masa depan akreditasi rumah sakit di Indonesia menuju pengembangan instrumen yang lebih spesifik untuk rumah sakit khusus adalah sebuah langkah strategis yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di negara ini. Dengan mengadopsi model dan pendekatan yang telah terbukti efektif di tingkat internasional, serta dengan mempertimbangkan konteks lokal, Indonesia memiliki potensi untuk menciptakan sistem akreditasi yang tidak hanya relevan dan efektif, tetapi juga dapat meningkatkan standar perawatan kesehatan secara menyeluruh. Kolaborasi antara lembaga-lembaga akreditasi dan dukungan penuh dari pemerintah akan menjadi kunci keberhasilan dalam inisiatif ini.
Referensi
- 1. Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. MIT Press.
- 2. Donabedian, A. (1988). The quality of care: How can it be assessed? JAMA, 260(12), 1743-1748.
- 3. Freeman, R. E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Cambridge University Press.
- 4..Hager, P., Gonczi, A., & Athanasou, J. (1994). General issues about assessment of competence. Assessment & Evaluation in Higher Education, 19(1), 3-16.
- 5. Lawrence, P. R., & Lorsch, J. W. (1967). Organization and Environment: Managing Differentiation and Integration. Harvard Business School Press.
- 6. Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.). Free Press.
- 7. Womack, J. P., & Jones, D. T. (1996). Lean Thinking: Banish Waste and Create Wealth in Your Corporation. Simon & Schuster.
- 8. CoC. (2023). About the Commission on Cancer. American College of Surgeons. Retrieved from https://www.facs.org/quality-programs/cancer-programs/commission-on-cancer/
- 9. Chan, K., Palis, B. E., Cotler, J. H., et al. (2024). Hospital accreditation status and treatment differences among Black patients with colon cancer. JAMA Network Open, 7(8), e2429563. https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.
Berita